Monday, April 20, 2020

Ini Bukan Kisah Sedih di Hari Minggu


Februari 2016 saat itu.
Saya dan Lovy pertama kali menginjak Jakarta kembali setelah hari wisuda saya.
Berbekal ijazah dan keberanian, saya yakin untuk menetap di Jakarta bersama Lovy di rumah orang tua (yang  saya pikir) sementara.

Sudah saya masukkan lamaran ke berbagai perusahaan, lewat website hingga datang ke kantor-kantor, belum ada yang memanggil saya.

Saat itu saya belum berpikir Jakarta keras.
Hidup saya masih ditanggung orang tua, 500rb satu bulan, harus cukup.

Ibu menawarkan saya lebih, saya yang tak mau.
Segitu saja saya sudah malu.

Lalu saya ditawari mengantar sepupu-sepupu saya dan juga tante.
Saya terima.
Sekali antar 10rb, kalau jauh 20rb.
Setiap minggu saya digaji oleh tante saya.
250rb biasanya  saya dapat dalam seminggu tapi ntah berapa kali saya antar bolak-balik.
Kadang tante saya memberikan lebih.

Saya berjanji pada diri sendiri tak ingin lagi merepotkan kedua orang tua.
Saya katakan kepada ibu agar tak perlu lagi memberikan uang bulanan.
Saya yakinkan beliau bahwa sebentar lagi saya akan dapat pekerjaan.

Ternyata memang kenyataan tak seindah khayalan.
Belum juga saya dapatkan kerja hingga mendekati puasa.

Libur sekolah. Tak antar sepupu.
Tante kadang juga tak saya antar.
Tak ada pemasukan.

Saya putar otak ini.
Saya coba buka-buka internet mencari resep makanan simpel yang sekiranya bisa saya buat.
Tadinya saya pikir bisa saja saya jual makanan.
Saya coba buat berbagai makanan di rumah, lumayan rasanya.
Lalu saya ingat pula, saya pintar bikin risoles mayo.
Saya coba buat, lalu saya hubungi Indri, teman dekat yang bekerja tak jauh dari rumah saya.
Saya katakan akan berkunjung ke kantornya membawa makanan, saya ingin ia menyicipinya.

Seperti takdir yang memang sudah dijalankan...
Indri bilang, kenapa tidak saya menawarkan makanan kepada teman-teman kantornya?
Ia sudah huru hara ke teman-temannya bahwa akan ada yang datang beberapa hari nanti bawa makanan jualan.

Saya saat itu bahagiaaaa sekali rasanya.
Padahal belum terpikir oleh saya untuk jual ke kantor-kantor.
Indri pembuka jalan.

***

Puasa tiba.
List kantor teman sudah di tangan.
Saya akan bergantian setiap harinya datang ke kantor teman untuk menawarkan makanan buka puasa.
Makanan simpel penambal perut.

List sudah di tangan.
Sibuk saya buat dari pagi hingga siang.
Minggu pertama berjalan lancar.
Namun ternyata minggu kedua tidak selancar yang saya kira.

Saat itu, saya sudah membuat janji dengan kakak senior SMA yang bekerja di salah satu bank dekat pondok indah.
Senang bukan main saat ia mengizinkan saya membawa makanan ke kantornya.
Saya pikir orang bank pasti banyak apalagi ia di gedung pusat.

Ia mengatakan bahwa saya sudah harus sampai pukul 4 karena kantornya setengah 5 sudah bubaran.

Sudah saya siapkan semuanya.
2 plastik besar kiri dan kanan.
Saya siap berangkat membawa motor.
Lalu Lovy menangis ingin ikut.
Digendonglah ia di depan, diikat kencang.

Berkendara motor saya ke tujuan dengan Lovy yang mendekap erat di gendongan.

Sampai di sana jam 4 lebih, aduh saya pikir gawat.
Saya coba telpon kakak senior itu.
Tak ada jawaban.
Saya coba chat, tak kunjung dibaca.
Padahal pukul 3 tadi ia masih membalas chat saya.

Saya duduk depan kantornya bersama Lovy yang masih ada di gendongan.
Dua plastik besar berisi makanan, saya letakkan di samping kanan.

Saya masih mencoba menghubungi kakak senior itu. Tak kunjung ia angkat.
Saya coba bertanya kepada satpam, tapi nyatanya ia tak kenal kakak senior saya itu.

Saya kebingungan sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 5.
Sebentar lagi buka puasa, namun dagangan saya belum ada yang laku satupun.

Saya coba beranikan diri menawarkan makanan yang sudah dibawa.
Hasilnya nihil.
Mungkin mereka pikir saya pengemis.

Pakaian saya lusuh, seorang anak digendongan saya.
Dua plastik besar berisi makanan di kanan-kiri tangan saya.
Tak ada yang beli, hanya menunggu dengan raut wajah iba saat itu.
Seperti menunggu belas kasihan orang yang lewat lalu lalang.
Saya coba tawarkan ke beberapa, tapi mereka menolak.
Saya kembali menghubungi kakak senior saya itu. Lagi-lagi tak ada jawaban.

"Mbak, jualan apa?" tanya seorang wanita.
Terkejut saya mendengarnya.
Saya buka plastik makanan, saya perlihatkan dan saya jelaskan padanya.
Ia beli beberapa.

Lalu tak disangka, ia panggil teman-temannya dan mengatakan saya menjual banyak takjil.
Teman-temannya datang dan membeli banyak sekali dagangan yang saya bawa.
Terharu saya dibuatnya.

Lovy yang masih di gendongan saya ternyata tertidur.
Dagangan sata tersisa dua, saya coba chat lagi kakak senior saya itu.
Saya bilang bahwa saya izin pulang karena sebentar lagi buka puasa.
Tak ada balasan.

Saya pulang dengan hati terluka namun juga lega.
Iya, saya memang terluka dengan sikap kakak senior saya yang tidak bertanggung jawab, saya pikir itu resiko.
Namun saya legaaa sekali.
Saya lega dagangan saya hampir habis.

Sebentar lagi adzan berkumandang, segera saya pulang bersama Lovy yang sedari tadi tidak rewel berada di gendongan.

Di perjalanan, tak terasa air mata ini menetes.
Memang bercampur aduk rasanya.
Hari ini saya sungguh diperlihatkan kuasa Tuhan.
Dikecewakan namun diberikan gantinya.
Terima kasih Tuhan.

***

Pukul 7 malam lebih, kakak senior saya baru membalas chat saya.
Ia mengatakan maaf dengan santainya.
Ia bilang banyak sekali pekerjaan jadi tak sempat melihat telepon genggamnya.
Saya bilang tak apa, lagi pula makanannya sudah habis terjual.
Ia mengatakan lega bahwa makanannya terjual dan tak basi.

Iya kak, kamu yang basi baru menghubungi setelah semua terjadi.
Tapi tak apa, kak.
Semua ada hikmahnya.
Terima kasih telah mengajarkan untuk lebih menghargai orang lain.

***

Dari pengalaman saya, akhirnya saya sadar bahwa roda hidup memang berputar.
Saya yang dulu selalu meminta apapun kepada orang tua saya dengan mudah, kemudian sangat sulit mencari uang.
Saya pikir hidup saya akan bahagia setelah menikah muda, kenyataannya saya mendadak menjadi single parent.

Saya sempat meratapi nasib.
Anak manja yang tiba-tiba diterpa musibah dan harus menerima kenyataan bahwa hidup memang keras, saya tidak siap.
Namun ratapan saya tidak menghasilkan apa-apa, saya harus bergerak.

Saat tak ada pekerjaan, apapun saya lakukan demi mencari uang halal.
Ntah mengantar barang, membuat pesanan makanan, apa saja...
Satu prinsip saya, jangan malu.
Jika saya ukur dengan gengsi, susu Lovy tak terbeli.

Pernah pula saya mengajukan kepada ibu saya untuk menjadi driver ojek online.
Ibu saya tidak mengizinkan, terlalu bahaya katanya karena saya pun belum satu tahun ada di Jakarta.
Saya menurutinya.

Ibu saya yang selalu meyakinkan saya bahwa kelak saya akan dapat pekerjaan yang baik.
Ilmu saya akan terpakai, tak sia-sia.
Beliau katakan saya bisa menjadi mandiri meski tanpa suami.

Sampai pada akhirnya di titik ini, dimana saya sudah bisa mandiri dalam hal finansial.
Saya tidak akan pernah lupa perjuangan saya sebelumnya.
Terhina, terinjak, dan tertindas pernah saya rasakan di usia yang terbilang belum matang.
Dari semua itu saya mengambil banyak hikmah.

Ini prinsip hidup saya: "Jika kamu punya seribu alasan untuk mengeluh, cari satu alasan untuk bersyukur."

Saya juga selalu ingat untuk menghargai orang lain karena apapun yang saya tanam, suatu hari akan saya tuai. Maka dari itu saya mencoba untuk selalu menjadi orang baik.

Namun kawan, tidaklah mudah jadi orang baik. Terkadang apa yang kita lakukan belum tentu diukur baik oleh orang lain. Atau kadang kita sudah bersikap baik, namun tidak dibalas dengan kebaikan.

Teman saya bilang, jika kita berbuat baik dan berharap dibalas dengan kebaikan, siap-siaplah untuk kecewa. So, teruslah dan tetaplah jadi orang baik meski bagaimanapun keadaannya dan seperti apapun nanti hasilnya. Tetap semangat!