Monday, February 20, 2017

Lovy – Perpisahan – Kelulusan


Halo, saya Syifa. Saya adalah orang tua tunggal dari seorang anak perempuan yang bernama Lovely Assyabiya atau biasa dipanggil Lovy. Saya akan mulai bercerita bagaimana kehidupan saya dan anak saya. Saya juga akan bercerita bagaimana Lovy tumbuh dengan cinta, kebahagiaan, kasih sayang maupun kesedihan yang ia alami. Namun, saya menulis beberapa part tentang kesedihan bukan untuk dikasihani. Saya ingin setiap tulisan saya mengenai anak saya menjadi sebuah inspirasi untuk siapapun yang membacanya, khususnya orang tua tunggal yang selalu berjuang untuk buah hatinya.
Lovy lahir di Sleman – Yogyakarta pada tanggal 22 Oktober 2014. Saya selalu yakin akan melahirkannya secara normal karena saat itu keuangan saya dan mantan suami saya yang sangat rendah. Alhamdulillah, Lovy dilahirkan secara normal di sebuah klinik bidan pada pukul 04.45 setelah adzan subuh. Saya memanggilnya Lovy yang bermakna menjadi Love Me. Saya ingin siapa saja yang menemui Lovy akan menyayangi dan mencintainya dengan tulus. Saya ingin ia tumbuh penuh dengan cinta. Lovy yang diambil dari kata Lovely memiliki arti menyenangkan. Kemudian ditambahkan Assyabiya yang memiliki arti pagi yang cerah. Jika digabungkan menjadi Lovely Assyabiya yang memiliki arti Pagi Cerah yang Menyenangkan.
Saya selalu yakin nama adalah sebuah doa, maka dari itu saya memberikannya nama sesuai dengan doa saya untuknya. Pagi cerah yang menyenangkan. Saya ingin hidupnya selalu cerah seperti pagi hari yang menyenangkan. Jika memang ketika ia bangun tidur dan paginya tak secerah seperti biasanya, saya harap ia selalu menjadi orang yang menyenangkan dan menganggap pagi hari adalah awal dirinya untuk melakukan semua aktivitas dengan gembira.
Lovy adalah seorang anak perempuan normal seperti yang lainnya. Lovy tinggal bersama saya dan juga ayahnya di kota Yogyakarta. Namun sayang, kebahagiaan yang kami rasakan harus menghilang ketika Lovy berumur 5 bulan. Saya memutuskan untuk berpisah dengan mantan suami saya yang merupakan ayah kandung Lovy karena banyak sekali kelakuannya yang di luar batas. Terlalu banyak yang saya hadapi untuk berpura-pura tidak mengetahui kejahatannya dan pada akhirnya saya menyerah.
Saya selalu ingat pertemuan terakhir Lovy dengan ayahnya. Kala itu, saya pindah rumah. Barang-barang di kontrakan sebagian dibawa oleh mantan suami saya dan sebagian saya angkut untuk pindah ke Kulonprogo. Malam itu, saya meminta ia menggendong Lovy. Saya sedikit memohon sambil berbisik, “Gendong Lovy, gendong anakmu”. Sayangnya, ia lebih memilih menghisap rokok di tangan dibanding menggendong anaknya. Lovy saat itu digendong oleh Oni, neneknya yang merupakan tante saya.
Oni berniat memberikan Lovy untuk digendong oleh ayahnya, sampai akhirnya Oni menyerah dan masuk ke dalam mobil. Ia yang masih menghisap rokok hanya mencolek pipi anak saya. Mobil pun berjalan pergi. Saya yang berada di kursi belakang merasa sakit luar biasa. Saya melihat Lovy seperti sudah tidak disayang lagi oleh ayahnya. Saya menangis di dalam mobil. Pikiran saya kacau. Saya kira meski saya berpisah dengan mantan suami saya, ia akan tetap sayang dengan anak saya.
Mungkin siapapun yang membaca tulisan saya akan berpikir saya agak berlebihan. Namun kalian tidak pernah tahu, saya selalu berfirasat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhir Lovy dengan ayahnya, maka dari itu saya memohon kepadanya untuk menggendong Lovy. Saya merasa sangat sakit hati karena saya menyaksikan sendiri bagaimana ia memperlakukan anak saya tidak sebagai seorang anak.
Di dalam mobil, saya menangis merintih. Om dan tante saya menasihati saya. Om saya mengatakan tidak apa-apa menangis agar saya lega. Saya berpikir bahwa ini adalah cobaan dari Allah SWT yang sungguh luar biasa dalam hidup saya. Saya harus berpisah karena banyak perlakuan tercela dari suami saya dan saya harus menyaksikan anak saya tidak benar-benar dicintai ayah kandungnya. Malam itu, sambil menangis saya berkata kepada tante saya, “Tante, Syifa mau pakai kerudung. Ajari Syifa lebih dekat sama Allah ya, tante..” Tante saya pun menitikkan air matanya “Iya, teh. Sabar ya, teh, ini cobaan buat teteh.”

* * *

Hari-hari Lovy tanpa kasih sayang seorang ayah pun dimulai. Saya dan Lovy sementara tinggal di rumah tante dan om saya di Kulonprogo – Yogyakarta. Jarak dari kota Yogyakarta ke Kulonprogo adalah satu jam. Hari demi hari saya tunggu kedatangan mantan suami saya untuk menemui Lovy, tapi hasilnya nihil. Ia tidak pernah datang.
Saat itu, saya dan Lovy tinggal di rumah tante dan om saya karena saya masih menempuh skripsi untuk kelulusan saya di UGM. Sungguh sangat berat yang saya rasakan. Harus menghadapi perpisahan sembari mengerjakan tugas skripsi demi kelulusan. Satu bulan lamanya saya hanya seperti orang bodoh yang termenung. Tante dan om saya selalu menasihati sembari membacakan doa agar saya kembali normal. Saya pun kadang merasa aneh. Saat Lovy menangis meminta ASI, beberapa kali saya tidak sadar dan tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Banyak yang bilang, saya terguncang.
Orang tua saya sesekali datang berkunjung untuk melihat keadaan saya dan Lovy. Menasihati saya agar segera lulus untuk bisa pulang ke Jakarta. Namun kadang semua nasihat itu seperti masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Saya masih merasa seperti orang bodoh. Sampai suatu hari saya sadar karena sebuah senyuman kecil. Senyuman itu milik Lovy. Ia yang menguatkan saya dan menyadarkan saya untuk bangkit dari keterpurukan.
Saat itu Lovy masih berusia 6 bulan tapi saya merasa seperti ia sudah besar. Ia menatap wajah saya sambil tersenyum seperti berkata, “Mama, you can do it!”. Saya terhentak. Iya, saya harus berjuang. Saya harus bangkit. Saya memiliki seorang putri yang harus saya besarkan. Allah bersama saya, saya bisa!
Pada akhirnya saya mulai mengerjakan skripsi. Saya rutin ke kampus seminggu sekali menempuh jarak 50 KM lebih perjalanan pulang pergi Yogyakarta – Kulonprogo menggunakan motor. Ketika saya akan give up, selalu yang saya lihat senyuman itu. Senyuman tulus dari seorang gadis kecil yang selalu berada di samping saya.
Perjalanan panjang saat saya membuat skripsi adalah sebuah perjalanan yang manis. Hari-hari dimana saya harus berjuang sembari saya melihat perkembangan anak saya. Dari ia bisa duduk sendiri, merangkak, berdiri, dan akhirnya bisa berjalan. Melihat perkembangan Lovy hari ke hari adalah yang paling membahagiakan dalam hidup saya. Mama. Itu adalah kata pertamanya. Iya, akhirnya Lovy bisa memanggil saya di umur 8 bulan. Ketika kebahagiaan itu datang, terkadang kesedihan ikut menyelimuti. Saya selalu di samping Lovy namun ayahnya tidak pernah sekalipun melihat pertumbuhan anaknya.
Ketika perasaan sedih itu datang, lagi-lagi yang membuat saya bahagia adalah Lovy. Lovy kecil yang selalu tertawa dan jarang menangis kecuali meminta ASI. Lovy kecil yang selalu menghibur mama, oni, dan okinya. Lovy yang sudah bisa menari-nari kecil bahkan di usianya baru 8 bulan. Lovy, anak yang menyenangkan sesuai dengan namanya, Lovely.
Saya selalu ingat saat merayakan ulang tahun Lovy di usianya yang pertama. Meski saat itu saya dijatah lima ratus ribu rupiah per-dua minggu oleh orang tua saya, saya merasa masih bisa merayakan ulang tahun Lovy meski dengan uang tersisa. Saya memesan kue tart ukuran sedang di salah satu toko roti dan alhamdulillah harganya tidak mahal. Lovy yang saat itu belum bisa meniup lilin, akhirnya lilinnya ditiup oleh Oni. Betapa lucunya ekspresi Lovy kala itu.
Hadiah terindah di umur Lovy 1 tahun adalah Mamanya mendapat jadwal sidang skripsi. Iya, akhirnya Mama Lovy akan lulus. 24 November 2015 adalah sidang skripsi untuk kelulusan saya. Sepanjang jalan dari Kulonprogo menuju UGM, saya selalu melantunkan doa. Allah bersama saya. Saya yakin bisa lulus demi Lovy.
Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dengan nilai B+ oleh dosen penguji saya. Sejujurnya, beberapa kali saya tidak bisa menjawab dan hanya bisa meminta maaf. Ntah apa yang terjadi saat saya diperintahkan menunggu di luar ruang sidang saat mereka berunding untuk menilai saya. Saya kira saya akan mendapatkan nilai C. Alhamdulillah saya mendapatkan nilai B gemuk atau B+ meski bukan A. Ketiga dosen penguji saya bergantian memeluk saya memberikan selamat dan mereka selalu berkata, “Yang kuat ya, nak”.
Dosen pembimbing saya yang terakhir memeluk saya. Ketika kedua dosen yang lain pergi, ia bercerita bahwa mereka sudah mengetahui apa yang tengah saya hadapi. Mereka merasa appreciate atas apa yang saya lakukan dan saya kerjakan. Meski dengan cobaan hidup yang saya alami, saya masih berjuang untuk lulus demi anak saya. Saya merasa terharu dengan yang dikatakan oleh dosen pembimbing saya. Sejujurnya, saya merasa sedikit berkecil hati karena saya dikasihani, namun saya kembali berpikir bahwa yang dilakukan orang lain terhadap saya sesungguhnya adalah sebuah simpati ataupun empati dan saya tidak boleh menolaknya.
Bagi saya, hari itu adalah hari terindah yang saya alami selain hari kelahiran anak saya. Saya pulang dari Yogyakarta menuju Kulonprogo dengan keadaan luar biasa bahagia. Saya merasa bangga telah menyandang gelar sarjana. Sepanjang perjalanan saya bernyanyi riang hingga sampai di rumah. Lovy sudah menunggu. Saya memeluknya kencang sambil berkata, “Sayang, mama sekarang sarjana. Mama sarjana!” Seperti biasa, meski ia tidak mengerti, ia tertawa girang.
Menurut saya, kesedihan akan selalu ada dalam hidup kita karena berbagai hal. Bagaimana kita menghadapi kesedihan itu adalah sebuah pilihan yang harus kita jalani. Jika kita menghadapi dengan rasa kecewa bertubi-tubi, niscaya kesedihan itu tidak akan sirna. Lain halnya jika kita menghadapi kesedihan itu dengan rasa percaya diri untuk bangkit. Percayalah, kesedihan itu pada akhirnya akan berbuah manis.
Selalu percaya kan dengan kata-kata ini “Badai pasti berlalu”?
Yup, sesungguhnya badai yang datang pasti akan berlalu seiring berjalannya waktu dan cara kita menghadapinya. Karena kalau kata Dyasti Wulandari, “Matahari tercerah datang setelah badai terparah”
So, bangkitlah dari keterpurukan! Ingat, akan ada matahari tercerah yang menantimu ketika badaimu sudah usai. :)