Halo,
saya Syifa. Saya adalah orang tua tunggal dari seorang anak perempuan yang
bernama Lovely Assyabiya atau biasa dipanggil Lovy. Saya akan mulai bercerita
bagaimana kehidupan saya dan anak saya. Saya juga akan bercerita bagaimana Lovy
tumbuh dengan cinta, kebahagiaan, kasih sayang maupun kesedihan yang ia alami.
Namun, saya menulis beberapa part tentang kesedihan bukan untuk dikasihani. Saya
ingin setiap tulisan saya mengenai anak saya menjadi sebuah inspirasi untuk
siapapun yang membacanya, khususnya orang tua tunggal yang selalu berjuang
untuk buah hatinya.
Lovy
lahir di Sleman – Yogyakarta pada tanggal 22 Oktober 2014. Saya selalu yakin
akan melahirkannya secara normal karena saat itu keuangan saya dan mantan suami
saya yang sangat rendah. Alhamdulillah, Lovy dilahirkan secara normal di sebuah
klinik bidan pada pukul 04.45 setelah adzan subuh. Saya memanggilnya Lovy yang
bermakna menjadi Love Me. Saya ingin siapa saja yang menemui Lovy akan
menyayangi dan mencintainya dengan tulus. Saya ingin ia tumbuh penuh dengan
cinta. Lovy yang diambil dari kata Lovely memiliki arti menyenangkan. Kemudian
ditambahkan Assyabiya yang memiliki arti pagi yang cerah. Jika digabungkan
menjadi Lovely Assyabiya yang memiliki arti Pagi Cerah yang Menyenangkan.
Saya
selalu yakin nama adalah sebuah doa, maka dari itu saya memberikannya nama
sesuai dengan doa saya untuknya. Pagi cerah yang menyenangkan. Saya ingin
hidupnya selalu cerah seperti pagi hari yang menyenangkan. Jika memang ketika
ia bangun tidur dan paginya tak secerah seperti biasanya, saya harap ia selalu
menjadi orang yang menyenangkan dan menganggap pagi hari adalah awal dirinya
untuk melakukan semua aktivitas dengan gembira.
Lovy
adalah seorang anak perempuan normal seperti yang lainnya. Lovy tinggal bersama
saya dan juga ayahnya di kota Yogyakarta. Namun sayang, kebahagiaan yang kami
rasakan harus menghilang ketika Lovy berumur 5 bulan. Saya memutuskan untuk
berpisah dengan mantan suami saya yang merupakan ayah kandung Lovy karena banyak
sekali kelakuannya yang di luar batas. Terlalu banyak yang saya hadapi untuk
berpura-pura tidak mengetahui kejahatannya dan pada akhirnya saya menyerah.
Saya
selalu ingat pertemuan terakhir Lovy dengan ayahnya. Kala itu, saya pindah
rumah. Barang-barang di kontrakan sebagian dibawa oleh mantan suami saya dan
sebagian saya angkut untuk pindah ke Kulonprogo. Malam itu, saya meminta ia
menggendong Lovy. Saya sedikit memohon sambil berbisik, “Gendong Lovy, gendong
anakmu”. Sayangnya, ia lebih memilih menghisap rokok di tangan dibanding
menggendong anaknya. Lovy saat itu digendong oleh Oni, neneknya yang merupakan
tante saya.
Oni
berniat memberikan Lovy untuk digendong oleh ayahnya, sampai akhirnya Oni
menyerah dan masuk ke dalam mobil. Ia yang masih menghisap rokok hanya mencolek
pipi anak saya. Mobil pun berjalan pergi. Saya yang berada di kursi belakang
merasa sakit luar biasa. Saya melihat Lovy seperti sudah tidak disayang lagi
oleh ayahnya. Saya menangis di dalam mobil. Pikiran saya kacau. Saya kira meski
saya berpisah dengan mantan suami saya, ia akan tetap sayang dengan anak saya.
Mungkin
siapapun yang membaca tulisan saya akan berpikir saya agak berlebihan. Namun
kalian tidak pernah tahu, saya selalu berfirasat bahwa hari itu adalah
pertemuan terakhir Lovy dengan ayahnya, maka dari itu saya memohon kepadanya
untuk menggendong Lovy. Saya merasa sangat sakit hati karena saya menyaksikan
sendiri bagaimana ia memperlakukan anak saya tidak sebagai seorang anak.
Di
dalam mobil, saya menangis merintih. Om dan tante saya menasihati saya. Om saya
mengatakan tidak apa-apa menangis agar saya lega. Saya berpikir bahwa ini
adalah cobaan dari Allah SWT yang sungguh luar biasa dalam hidup saya. Saya
harus berpisah karena banyak perlakuan tercela dari suami saya dan saya harus
menyaksikan anak saya tidak benar-benar dicintai ayah kandungnya. Malam itu,
sambil menangis saya berkata kepada tante saya, “Tante, Syifa mau pakai
kerudung. Ajari Syifa lebih dekat sama Allah ya, tante..” Tante saya pun
menitikkan air matanya “Iya, teh. Sabar ya, teh, ini cobaan buat teteh.”
* * *
Hari-hari
Lovy tanpa kasih sayang seorang ayah pun dimulai. Saya dan Lovy sementara
tinggal di rumah tante dan om saya di Kulonprogo – Yogyakarta. Jarak dari kota
Yogyakarta ke Kulonprogo adalah satu jam. Hari demi hari saya tunggu kedatangan
mantan suami saya untuk menemui Lovy, tapi hasilnya nihil. Ia tidak pernah
datang.
Saat
itu, saya dan Lovy tinggal di rumah tante dan om saya karena saya masih
menempuh skripsi untuk kelulusan saya di UGM. Sungguh sangat berat yang saya
rasakan. Harus menghadapi perpisahan sembari mengerjakan tugas skripsi demi
kelulusan. Satu bulan lamanya saya hanya seperti orang bodoh yang termenung.
Tante dan om saya selalu menasihati sembari membacakan doa agar saya kembali
normal. Saya pun kadang merasa aneh. Saat Lovy menangis meminta ASI, beberapa
kali saya tidak sadar dan tidak mengerti apa yang harus saya lakukan. Banyak
yang bilang, saya terguncang.
Orang
tua saya sesekali datang berkunjung untuk melihat keadaan saya dan Lovy.
Menasihati saya agar segera lulus untuk bisa pulang ke Jakarta. Namun kadang
semua nasihat itu seperti masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Saya masih merasa seperti orang bodoh. Sampai suatu hari saya sadar karena
sebuah senyuman kecil. Senyuman itu milik Lovy. Ia yang menguatkan saya dan
menyadarkan saya untuk bangkit dari keterpurukan.
Saat
itu Lovy masih berusia 6 bulan tapi saya merasa seperti ia sudah besar. Ia
menatap wajah saya sambil tersenyum seperti berkata, “Mama, you can do it!”. Saya terhentak. Iya, saya harus berjuang.
Saya harus bangkit. Saya memiliki seorang putri yang harus saya besarkan. Allah
bersama saya, saya bisa!
Pada
akhirnya saya mulai mengerjakan skripsi. Saya rutin ke kampus seminggu sekali
menempuh jarak 50 KM lebih perjalanan pulang pergi Yogyakarta – Kulonprogo
menggunakan motor. Ketika saya akan give
up, selalu yang saya lihat senyuman itu. Senyuman tulus dari seorang gadis
kecil yang selalu berada di samping saya.
Perjalanan
panjang saat saya membuat skripsi adalah sebuah perjalanan yang manis.
Hari-hari dimana saya harus berjuang sembari saya melihat perkembangan anak
saya. Dari ia bisa duduk sendiri, merangkak, berdiri, dan akhirnya bisa
berjalan. Melihat perkembangan Lovy hari ke hari adalah yang paling
membahagiakan dalam hidup saya. Mama. Itu adalah kata pertamanya. Iya, akhirnya
Lovy bisa memanggil saya di umur 8 bulan. Ketika kebahagiaan itu datang,
terkadang kesedihan ikut menyelimuti. Saya selalu di samping Lovy namun ayahnya
tidak pernah sekalipun melihat pertumbuhan anaknya.
Ketika
perasaan sedih itu datang, lagi-lagi yang membuat saya bahagia adalah Lovy.
Lovy kecil yang selalu tertawa dan jarang menangis kecuali meminta ASI. Lovy
kecil yang selalu menghibur mama, oni, dan okinya. Lovy yang sudah bisa
menari-nari kecil bahkan di usianya baru 8 bulan. Lovy, anak yang menyenangkan
sesuai dengan namanya, Lovely.
Saya
selalu ingat saat merayakan ulang tahun Lovy di usianya yang pertama. Meski
saat itu saya dijatah lima ratus ribu rupiah per-dua minggu oleh orang tua saya,
saya merasa masih bisa merayakan ulang tahun Lovy meski dengan uang tersisa.
Saya memesan kue tart ukuran sedang di salah satu toko roti dan alhamdulillah
harganya tidak mahal. Lovy yang saat itu belum bisa meniup lilin, akhirnya
lilinnya ditiup oleh Oni. Betapa lucunya ekspresi Lovy kala itu.
Hadiah
terindah di umur Lovy 1 tahun adalah Mamanya mendapat jadwal sidang skripsi.
Iya, akhirnya Mama Lovy akan lulus. 24 November 2015 adalah sidang skripsi
untuk kelulusan saya. Sepanjang jalan dari Kulonprogo menuju UGM, saya selalu
melantunkan doa. Allah bersama saya. Saya yakin bisa lulus demi Lovy.
Alhamdulillah
saya dinyatakan lulus dengan nilai B+ oleh dosen penguji saya. Sejujurnya,
beberapa kali saya tidak bisa menjawab dan hanya bisa meminta maaf. Ntah apa
yang terjadi saat saya diperintahkan menunggu di luar ruang sidang saat mereka
berunding untuk menilai saya. Saya kira saya akan mendapatkan nilai C.
Alhamdulillah saya mendapatkan nilai B gemuk atau B+ meski bukan A. Ketiga
dosen penguji saya bergantian memeluk saya memberikan selamat dan mereka selalu
berkata, “Yang kuat ya, nak”.
Dosen
pembimbing saya yang terakhir memeluk saya. Ketika kedua dosen yang lain pergi,
ia bercerita bahwa mereka sudah mengetahui apa yang tengah saya hadapi. Mereka
merasa appreciate atas apa yang saya
lakukan dan saya kerjakan. Meski dengan cobaan hidup yang saya alami, saya
masih berjuang untuk lulus demi anak saya. Saya merasa terharu dengan yang
dikatakan oleh dosen pembimbing saya. Sejujurnya, saya merasa sedikit berkecil
hati karena saya dikasihani, namun saya kembali berpikir bahwa yang dilakukan
orang lain terhadap saya sesungguhnya adalah sebuah simpati ataupun empati dan
saya tidak boleh menolaknya.
Bagi
saya, hari itu adalah hari terindah yang saya alami selain hari kelahiran anak
saya. Saya pulang dari Yogyakarta menuju Kulonprogo dengan keadaan luar biasa bahagia.
Saya merasa bangga telah menyandang gelar sarjana. Sepanjang perjalanan saya
bernyanyi riang hingga sampai di rumah. Lovy sudah menunggu. Saya memeluknya
kencang sambil berkata, “Sayang, mama sekarang sarjana. Mama sarjana!” Seperti
biasa, meski ia tidak mengerti, ia tertawa girang.
Menurut
saya, kesedihan akan selalu ada dalam hidup kita karena berbagai hal. Bagaimana
kita menghadapi kesedihan itu adalah sebuah pilihan yang harus kita jalani.
Jika kita menghadapi dengan rasa kecewa bertubi-tubi, niscaya kesedihan itu
tidak akan sirna. Lain halnya jika kita menghadapi kesedihan itu dengan rasa
percaya diri untuk bangkit. Percayalah, kesedihan itu pada akhirnya akan
berbuah manis.
Selalu
percaya kan dengan kata-kata ini “Badai pasti berlalu”?
Yup,
sesungguhnya badai yang datang pasti akan berlalu seiring berjalannya waktu dan
cara kita menghadapinya. Karena kalau kata Dyasti Wulandari, “Matahari
tercerah datang setelah badai terparah”
So,
bangkitlah dari keterpurukan! Ingat, akan ada matahari tercerah yang menantimu
ketika badaimu sudah usai. :)